Sunday, December 23, 2012

tak seperti yang terlihat

hay woodys, setelah sekian lama vakum, akhirnya mimin dateng dengan cerita baru, kali ini judulnya tak seperti yang terlihat. okeh, sebelum kalian abis ini komentar kalo judul ga nyambung sama isi, mimin clear in disini dulu deh. Gini, tak seperti yang terlihat itu maksudnya adalah salah presepsi ato salah paham, yang menurut mimin ada di cerpen ini.
 sebuah quotes di awal nih:
-Saat mata beradu dengan selain mata, ia tak kan bisa melihat sebenar apa yang dikatakan saat dua pasang mata saling beradu- (@putudiahpp)
inti dari quotes itu adalah, jangan pernah percaya banget sama yang kamu lihat, semua yang kamu lihat belum tentu benar, tapi saat mata mu berbicara karna menatap mata yang lain, percayailah :D

okeh, langsung cek aja cerpe terbaru mimin yaaa :)
selamat membaca :)





Tak seperti yang sebenarnya terjadi
Terkadang apa yang kita lihat tak seperti apa yang sebenarnya terjadi, pemikiran  pemikiran sempit dan emosi sangat mempengaruhi semua ini, membuat keadaan semakin runyam, membuat kesalahpahaman yang semakin salah hingga banyak rasa yang tersakiti.
Ya, itu lah hidup, terlalu banyak pemikiran , kekhawatiran tentang cinta sehingga  terlalu banyak yang terluka akibat cinta  itu sendiri, tapi entah mengapa mereka tak pernah beranjak dengan cinta itu, sangat aneh.
Radit terdiam, pemikiran – pemikiran yang sedari tadi meghantui nya membuatnya berpikir dua kali untuk menemui Sita, gadis yang dulu sempat memalingkan dunianya, membuat dunianya begitu indah, sekaligus suram. Begitu banyak canda tawa yang mereka lalui bersama dan tak sedikit lara yang hanya dirasa Radit oleh sikap Sita.
Heh dit,jangan bengong, ntar kesambet setan baru tau rasa  lo!
Ah, kampret lu! Ngagetin gue aja, lagi asik ngayal juga.
Ah elu, paling banter ngayal bokep doang, inget itu dosa men! Dosa!
Anjir lu Den, mulut lo kayak kaga pernah di sekolahin dah, ngomong ngasat banget. Heran deh, kenapa gue bisa temenan sama lu.
 Deni adalah sahabat terbaik Radit, semenjak mereka bertemu 17 tahun yang lalu ketika orang tua Radit pindah ke rumah disamping rumahnya Deni, mereka sangat akrab, akrab sekali.
Gimana lu sama Sita, boy? Siap ketemu ntar malem pas acara makrab?
Radit hanya terdiam.Pertanyaan Deni tentang Sita seperti membuka lama kisah sendu di hatinya , kisah yang sudah tak ingin di ungkap. Kisah yang cukup hanya dijadikan kenangan, kenangan tentang saat dimana hanya satu orang yang mengerti dan satunya lagi tak akan pernah mengerti.
Masih jelas saat itu, saat mereka sedang dimabuk asmara Radit selalu menemani kemanapun langkah Sita tertuju dan gampang cemburu saat Sita berbincang dengan Dika. Entah kenapa, ada sebuah perasaan takut yang mendalam yang dirasakan oleh Radit pada Dika jika nantinya ia mengambil Sita dari hidupnya.
Ya, Dika memang sedari dulu sudah menyukai Sita. Ia selalu berusaha membuat Sita tertarik padanya, namun hati Sita hanya berlabuh ke satu hati, yaitu hatinya Radit.
Walaupun Radit tahu apa yang Sita rasa, bagaimana perasaan Sita terhadap Dika, Radit tetap saja cemas, tetap takut jika nantinya Sita mulai terbujuk rayuan Dika, sehingga Radit selalu mengawasi langkah Sita.
Kadang, hal ini membuat Sita sedikit merasa tidak nyaman, namun ketidaknyamanan itu selalu dia coba untuk mengerti sebagai rasa sayang Radit padanya. Mereka berdua sangat serasi, banyak orang yang mengatakan bahwa mereka jodoh, namun sayangnya orang lain tersebut bukan Tuhan yang bisa memastikan bahwa mereka benar – benar berjodoh.
19 Desember 2010, masih jelas cerita yang menggores  benak Radit.  Saat itu, Radit dan Sita terlibat obrolan yang panas. Sita hanya ingin mengungkapkan ketidaknyamanannya tentang sikap overprotective Radit, namun Radit yang sedari tadi emosi  tak bisa untuk mengerti Sita, sampai akhirnya ia berjalan pergi meninggalkan Sita begitu saja. Disana, Sita tampak sangat sedih, amat sedih. Air matanya tak berhenti menetes, membasahi paras ayunya.
Handphone Radit berbunyi, ada pesan dari Sita
“Dit, inget ga hari ini tanggal berapa?  Hari ini 19 Desember 2010, tepat  2 tahun kita pacaran. Kamu bilang, setiap tanggal ini aku boleh nyampein unek – unek ku ke kamu, sebagai bahan introspeksi buat hubungan kita, tapi kenapa kamu malah marah? Aku ga ngerti dit, kenapa kamu bersikap kayak tadi ke aku. Dit, kamu ngga lupa kan sama janjimu ke aku? Di perayaan hari jadi kita yang kedua, kamu bakal ngajak aku ke lapangan basket yang ada di kampus dan ngajarin aku maen basket, masih inget kan? Aku masih nunggu itu Dit. Aku tunggu kamu di tempat yang kamu janjikan.”
Radit yang kesal  hanya terdiam. Pikirannya menerawang jauh. Ia bingung, haruskah ia pergi dan menganggap semua baik – baik saja atau haruskah Ia tak datang agar Sita mau mengerti isi hatinya.
Saat itu sudah pukul 16.00 namun Radit tak kunjung datang. Sudah sejam lamanya Sita menunggu Radit, namun ia tetap berkeyakinan Radit akan menemuinya.
2 jam menunggu, Radit tak kunjung datang. Kini hujan pun mulai membasahi tubuh Sita yang mungil itu. Deni yang kebetulan lewat di pinggir lapangan basket melihat Sita seperti orang gila yang hanya duduk di tengah lapangan basket , kemudian langsung menghubungi Radit. Radit yang merasa cemas akan kondisi Sita pun langsung bergegas menuju lapangan basket tempat yang mereka janjikan. Namun sayang, Radit terlambat beberapa menit dari Dika yang sedari tadi memperhatikan Sita dari kejauhan dan kini Dika mulai mendekat.  Dika kemudian memayungi Sita yang tampak sudah kedinginan dan basah kuyup. Dika yang melihat Radit tengah mendekat memanfaatkan kesempatan itu untuk membuat Radit cemburu dengan merangkul tubuh lemah Sita, namun Sita menolak rangkulan itu. Radit segera berlari menghampiri mereka berdua dan dengan segera menghujani Adit dengan pukulan. Sita yang melihat itu langsung berteriak dan meminta Radit berhenti meninju Dika yang mulai tampak babak belur.
Dit, please berhenti. Dika cuma mayungin aku doang.
Kamu bilang berhenti?Cuma mayungin? Dia itu tadi mau ngerangkul kamu ta!
Ia, tapi kan aku ga mau di rangkul sama dia. Ya udah sih dit, tenangin diri kamu dulu.
Tenang? Dengan semua yang aku liat di depan mata ku, kamu nyuruh aku tenang?  Jangan- jangan kamu seneng lagi kalo bisa di payungin sama Dika!
Dit, jaga deh ucapan kamu. Aku dari tadi disini nungguin kamu. Kamu tau? Berapa waktu yang aku habisin disini ujan – ujanan cuma buat ketemu kamu? 
Ah, aku udah ga bisa percaya sama kamu ta, kamu udah ngekhianatin kepercayaan yang aku kasi ke kamu! Selamat tinggal!
Radit pun pergi menjauh,sembari  berharap Sita akan menarik tangannya ,mempertahankan atau bahkan hanya sekedar memanggil namanya
Sita yang mencoba meraih tangan Radit kemudian terpeleset dan jatuh. Ia tak sanggup berdiri lagi. Dia hanya menangis sambil memanggil nama Radit namun Radit yang tak mendengar panggilan Sita tetap bergerak  menjauhi Sita.
****
Woy! Tuh kan, lu ngayal lagi! Mending lu sekarang ambil tuh hape dan cepet bayar ke kasir. Bentar lagi kita ada makrab bareng Sita di Sadranan. Gue ga mau loh kalo gue terpisah dari rombongan gara – gara gue lama nungguin lu disini.
Iye dah, bawel banget l!udah  kayak cewe aja lu!
Mereka berdua kemudian beranjak dari tempat makan , bergegas menuju kampus dan mulai berbaur dengan rombongan mahasiswa yang akan menuju pantai Sadranan.
Sesampainya di pantai Sadranan, mereka diberikan waktu 4 jam untuk menikmati indahnya pantai itu. Pantai itu sangat indah, pasirnya berwarna putih dan lautnya berwarna biru, alamnya masih sangat terasa kental. Setelah lama menyusuri pantai itu, ada satu bagian yang paling menarik untuk Radit. Sebuah bukit yang ada di dekat pantai itu. Ia pun mencoba mencari jalan untuk menuju bukit itu. Saat ia mencapai bukit itu, tampak seorang gadis yang sangat ia kenal menangis disana. Entah kenapa, tangisan itu menggores hati Radit. Ia pun memberanikan diri untuk membuka pembicaraan.
Ta, lu kenapa nangis? Ada masalah ya antara lo sama Dika?
Eh, Radit? Kamu kok disini? Ngga kok, bukan apa – apa. Cuma lagi pengen nangis aja kok.
Suasana disana begitu canggung dan sangat hening, tak seperti pemikiran pemikiran mereka yang seperti tengah menghadapi perang batin antar kedua nya.
Sesekali Radit memandangi Sita, begitu pun sebaliknya, namun mereka hanya terdiam membisu. Radit terus memperhatikan wanita yang sempat mengisi hari – harinya itu dan kemudian matanya tertuju pada kaki mungil Sita yang terbalut perban.
Ta, kaki lu sakit ya? Abis jatoh?
Iya dit, habis jatoh waktu kita lagi hujan – hujanan. Waktu aku mau nyamperin dan ngeraih tangan kamu, aku kepeleset ampe kekilir kayak gini.
Radit terdiam, pikirannya berkecamuk.
Tuh kan, lu udah salah langkah Dit! Ah bego! Emosi lu emang  bener – bener bikin semuanya salah paham Dit! Coba deh lu pikir – pikir lagi, kalo dia kepleset dan jatoh trus dia triak sekenceng apapun pas lagi ujan, sampe nenek lu bisa ngangkat motor juga  kaga bakal kedengeran kan? Ah bego lu Dit! Kenapa lu ninggalin dia coba? Ah bego!
Perasaan itu berkecamuk dalam diri  Radit.
Ta, maafin aku ya. Aku udah sering bikin kamu nangis , sering ngatur kamu dan ngikutin semua jejak langkah kamu. Aku gini karna aku cuma takut ngalamin kehilangan ta. Maafin aku.

2 comments:

Iboymuharram said... Reply Comment

bagus liph cerpennya, cukup bisa membawa emosi pembaca :D

beberapa hal yg menurutku perlu diperbaiki, pembedaan tulisan untuk narasi dan kalimat dialog tokoh dalam narasi, trus paragraf dan spasi, aku gak terlalu nyaman bacanya, hehe

guslak! terus berkarya positif!!

didi said... Reply Comment

wah, terimakasih masukannya :)