Bali,
sebuah pulau yang cukup memiliki daya tarik tersendiri di kalangan turis asing
maupun lokal. Berbagai kultur budaya bisa kita temui disini. Hidup bermasyarakat di sini membuatku merasa
nyaman. Ya, hidup di pesisir pantai dengan tanah berbatu yang tandus, begitulah
kondisi alam desaku, namanya Selabih. Sebuah desa terpencil dengan kehidupan
masyarakat yang beranekaragam agama yang hidup berdampingan dengan damai di
tengah pergeseran budaya yang kian hari kian menepi.
Disini
awal kisahku, hidup sebagai seorang gadis lugu sederhana yang harus bersekolah
dengan penuh perjuangan, bagaimana tidak, tiap hari aku harus bangun jam 5 pagi
dan berjalan sejauh 2 km untuk mencari angkutan umum yang akan membawaku ke
sekolah yang letaknya 6 km dari desaku. Sama seperti hari biasanya, kini aku
bergegas ke sekolah yang sangat aku bangga – banggakan ini.
“Dek
Rai, kamu sudah selesai bikin pr matematika belum ? ” ,tanya Putu Yogi dengan
logat Tabanannya yang khas.
“Aduh,
aku lupa puk. Pr nya yang mana Gi? Di LKS ? Halaman berapa?”,tanyaku dengan
panik karena aku lupa kalau ada pr matematika.
“Itu
loh yang halaman 45 itu, ayo kita bikin prnya bareng bareng Dek”, ajaknya
sambil tersenyum padaku penuh semangat.
Untungnya
kelas masih sepi karena ini baru jam 6 pagi. Kami pun mengerjakan pr dengan
tergesa – gesa sebelum teman – teman yang lain datang ke sekolah.
Bel
tanda pelajaran dimulai pun berdering sangat nyaring, layaknya sirine yang
ingin membangunkan beruang kutub yang sedang hibernasi.
“Selamat
pagi anak – anak. Kali ini ibu akan mengecek kehadiran kalian sambil memeriksa
pr kalian.” Kata bu guru yang mulai memanggil nama – nama temanku.
“Ni
made rai antari”, kata bu guru lagi.
“Hadir
bu.” jawabku sambil menyerahkan pr yang baru satu jam yang lalu aku kerjakan.
Untung
pr yang tadi aku kerjakan bersama Putu Yogi benar semua, alhasil kami
mendapatkan nilai 100 kali ini, sungguh beruntung.
Bel
tanda pulang pun kembali berdering, aku langsung bergegas pulang bersama teman
– temanku. Saat aku menunggu mini bus yang akan ku tumpangi, aku duduk di depan
sekolah dan tak sengaja ku lihat seorang pria, mirip bapakku tengah membonceng
seorang wanita,tapi bukan ibuku. “Mungkin itu orang lain, bukan bapak” kataku
dalam hati.
Akhirnya
mini bus yang ku tunggu datang juga, dengan perjalanan 15 menit dari Suraberata
menuju Selabih, aku tiba di jalan besar di desaku. “Tinggal 30 menit lagi”
kataku dalam hati. 30 menit adalah waktu yang ku perlukan untuk berjalan kaki
menuju rumahku. Jalanan beraspal sejauh 1,3 km dan jalan setapak kecil sejauh
700 meter adalah menu utama keseharianku ketika berangkat ke sekolah. Jalan ini
lah yang selalu memacuku untuk terus semangat belajar menuntut ilmu setinggi –
tingginya di tengah carut – marut ekonomi yang tengah melanda keluargaku.
“Dek
Rai, yuk sini Pak Man antar pulang”, ajak seorang paman yang baik hati itu.
Beliau adalah sepupu dari bapakku.
“Ngga
usah Pak Man Parta, aku mau jalan kaki saja. Pak Man duluan dah”, jawabku.
Kemudian,
Pak Man Parta berlalu dan aku pun melanjutkan perjalananku.
Terik
matahari ditambah lokasi desaku yang di pinggir laut membuat hari ini begitu
panas dan melelahkan namun, hal itu tak melunturkan semangatku untuk berjalan
menuju rumah.
Setibanya
di rumah, ku dengar ada pertengkaran yang terjadi, entah itu dari rumah siapa.
Ku lihat perabotan dapur berserakan di halaman rumah, aku panik dan penasaran,
siapa yang bertengkar ini. Semua pertanyaanku kini terjawab oleh jeritan dari
wanita paruh baya, ibuku. Langsung aku bergegas menuju kamarku yang berada
disamping kamar orang tuaku. Aku terkejut, ku dengar bahwa ibu ingin bercerai
dengan bapak karena bapak kembali dengan hobi lamanya yaitu bermain perempuan
yang membuatku teringat dengan perempuan yang tadi aku lihat di depan sekolah.
Tak sadar ku teteskan air mata ini hingga membasahi sebagian wajahku yang
berdebu. Ketika ku mencoba keluar dari kamarku, dengan sigap ada tangan yang
menarikku tak membiarkanku keluar dari kamarku. Ternyata dari tadi sudah ada Bli
Darma. Dia bilang semua akan baik – baik saja. Dia menyuruhku untuk tidak ikut
campur dan diam saja di kamar. Kali ini aku menurut pada Bli Darma, tak pernah
ku lihat raut wajah yang sekacau itu dari wajahnya. Sepertinya dia jauh lebih
merasa tertekan di banding aku.
Beberapa
menit kemudian, bapak pergi meninggalkan rumah, semuanya hening, Tak lagi
terdengar gemuruh pertikaian yang terjadi. Sesekali terdengar rintihan tangisan
kecil dari ibu, kali ini Bli Darma sudah tak sanggup menahan dirinya. Ia
langsung datang menemui ibuku, entah apa yang ia bicarakan, dan tiba – tiba ku
lihat Bli Darma dengan mengantar ibu pergi dengan tas yang penuh berisi pakaian,
ku coba berlari mengejar mereka, namun mereka tak menghiraukanku. Aku sungguh
tak sanggup menghadapi ini semua.“Kenapa bocah kelas 2 smp seperti aku
mengalami hal ini?”, tanyaku dalam hati.
Setelah
sekian lama aku berdiri melamun menatap jalan setapak yang ada di hadap ku,
datang nenek yang menghampiriku. Beliau memelukku dan mengatakan semua akan
baik – baik saja. Aku tidak menggubrisnya.
Seharian
ini aku berada di kamar mengurung diri, tanpa makan dan minum. Awalnya kupikir
ini berhasil, namun hingga larut malam Bli Darma ataupun bapak tak kunjung
datang. Ku putuskan untuk tidak makan sampai ibu datang lagi ke rumah, nenek
yang mulai cmas dengan kondisiku kemudian menyuruh Pak Man Parta untuk mencari
bapak,ibu dan Bli Darma. Ku tunggu hingga senja, mereka tak kunjung datang, aku
mulai cemas.
Akhirnya
bapak, ibu dan Bli Darma datang menemui ku, mereka membujukku untuk makan. Aku
langsung senang, akhirnya keluargaku berkumpul lagi. Ku ceritakan niatku pada
kedua orang tuaku dan Bli Darma, mereka hanya terdiam sambil menatapku melahap
semua makanan yang ada di depanku. Ketika aku bergegas untuk tidur, ibu
menemuiku, ia berkata,” Semua akan baik – baik saja dek, kamu belajar yang
rajin. “
Aku
hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum seraya memejamkan mata. Ku harap
esok bisa jauh lebih indah dari malam ini.
Hari
– hari berlalu tak sesuai dengan harapku.
Hari
dimana bapak mulai tak acuh, ibu yang mulai depresi dan Bli Darma yang
menghilang entah kenapa. Batinku pilu melihat kenyataan ini.
Handphone
ku berdering,tanda ada yang mengirimiku pesan singkat,pesan itu dari Bli Wayan
Palguna, kakak sepupuku dan orang terdekat Bli Darma. Bli Wayan Palguna
mengatakan bahwa sudah 2 hari ini Bli Darma mabuk – mabukan di cafe yang tak
jauh dari desaku. Aku panik. Tak pernah ku lihat Bli Darma mabuk seperti ini.
Dia bukan orang yang kuat minum, hanya dengan 1 gelas bir saja ia sudah teler.
“Tapi kenapa ia kini minum begitu banyak? Apakah ini karna ia depresi dengan
masalah yang dialami keluargaku?” tanyaku dalam hati.
Langsung
aku meminta Bli Wayan Palguna untuk segera membawa Bli Darma pulang ke rumah.
Dulu,
ketika bapak ketahuan berselingkuh, Bli Darma mengamuk. Badannya yang cukup
tinggi dan kekar dimanfaatkannya untuk menghancurkan dengan kuat semua benda
pemberian bapak. Bli Darma berhenti mengamuk karena bapak berjanji tidak akan
main perempuan lagi.
Masih
ku ingat dulu, saat ekonomi keluarga kami sangat pas – pasan, bapak selalu
menangis ketika mengantar kami ke sekolah. Ia tak sanggup memberi kami uang
saku untuk naik mini bus ke sekolah. Ia kemudian meminjam motor milik Pak Man
Parta agar kami berdua bisa berangkat ke sekolah. Aku sangat rindu saat itu.
Walaupun ekonomi kami sangat memprihatinkan, aku merasa ada perhatian dan kasih
sayang orang tua disana, tidak seperti sekarng disaat kondisi ekonomi
keluargaku membaik, tak ada cinta dan kasih sayang yang bisa ku rasakan.Yang
ada hanya kepalsuan dan pertikaian yang mengisi hari – hari ku.
Kadang
ku berpikir bahwa ,” Apakah tak bisa keluargaku hidup mapan tanpa harus ada
pertikaian? Apa keluargaku harus
menderita lagi baru bapak sadar akan kesalahannya? Tidakkah bisa keluargaku
kembali seperti keluarga normal yang lain yang penuh cinta? Apakah pernikahan
itu hanya manis di awal seperti pernikahan Pak Man Parta yang baru seumur
jagung? Kenapa keluarga Pak Wayan Suta yang hanya bisa bertemu istrinya tiap
hari libur bisa harmonis sedangkan bapak dan ibuku yang bertemu setiap hari
tidak harmonis? Kenapa?” keluhku dalam hati.
Hari
– hariku di sekolah kini nampak tak berarti, tak ada semangat yang dulu pernah
membara dalam setiap aliran darahku. Kini, hanya tertinggal kecamuk duka dalam
setiap rintihan langkahku.
Hari
ini, ibu kembali ingin pergi. Kini ia bersungguh – sungguh katanya. Aku tak
kuasa menahan tangisanku. Aku minta agar ibu tetap ada disini menemaniku, namun
ibu hanya menangis. Ia mengatakan bahwa aku harus tetap disini, tetap
bersekolah dan menemani Bli Darma yang kini masih tertidur pulas akibat mabuk
kemarin.
Aku
menangis sekencang – kencangnya, ku raih tangan ibu yang bergegas
meninggalkanku denga air mata yang terus – terusan menetes.
Ingin
ku halangi langkahnya namun nenek memegang tanganku erat, ia tak membiarkanku
pergi menyusul ibu.
Kini
senja mulai tiba.
Ku
putuskan untuk mengakhiri semuanya, tak ada alasan lagi kenapa aku harus
semangat belajar. Tak ada lagi tujuan hidup dalam setiap langkahku.
Ku
tulis sepucuk surat.
“Untuk Bli Darma, ibu dan bapak yang teramat
ku cintai. Aku sangat sayang pada kalian. Bisa kah kita seperti dulu?
Untuk Ibu dan Bapak, apa kalian
masih ingat, dulu cinta yang menyatukan kalian, sekarang cinta juga yang
memisahkan kalian. Pernahkah kalian berpikir bagaimana perasaan kami sebagai
anak kalian?Apa kalian berpikir hanya kalian yang sakit? Apa kalian berpikir
kami tidak terbebani dengan apa yang telah kalian lakukan? Apa kalian berpikir
kami ini boneka hasil pernikahan kalian yang tak memiliki perasaan? Kalau
kalian berpikir ya, kalian salah. Kami jauh merasa tersiksa daripada kalian.
Kami sunggu malu. Ketika kami lihat teman – teman kami berkumpul dengan orang
tuanya, kami sangat iri. Pernahkah terpikir di benak kalian bahwa kami
merasakan ini? Pernahkah?
Untuk Bli Darma, apa bli pikir bli
hebat? Kenapa bli minum – minum lagi? Apa bli berpikir hanya bli yang sangat
tertekan? Bli salah. Aku juga tertekan, bahkan mungkin lebih tertekan. Aku yang
kini sedang mencari sosok untuk diteladani hanya bisa melihat orang tuaku
bertengkar dan hampir bercerai, ketika aku perlu sandaran, apa bli ada? Kenapa
bli ikutan merusak diri bli sendiri? Lalu aku harus menyandar pada bahu siapa
bli?
Untuk kalian semua, keluargaku yang
sangat aku cintai.
Aku sudah lelah, lelah sekali. Aku
bosan hanya berhadapan dengan masalah ini. Aku ingin tenang. Aku ingin menyusul
kakek yang telah lama menungguku disana. Ijinkan aku pamit.
Berjanjilah padaku untuk tidak
melakukan hal – hal bodoh seperti ini lagi. Aku sangat menyayangi kalian.
-Ni
Made Rai Antari-
Ku
letakkan surat itu di atas meja belajar dan bergegas menuju bendungan besar
yang ada di desaku. Ku lihat sekeliling, tak ada siapapun disana. Aku mulai
berdiri di atas besi pembatas besi.
Ketika aku ingin melompat dari sana, ada seorang lelaki muda yang memanggilku.
Lekaki tinggi dan bertubuh kekar, ternyata dia adalah Bli Darma. Tanpa
menghiraukan Bli Darma, aku langsung melompat dari pembatas besi yang tingginya
kurang lebih 2meter itu. Tubuhku
menghantam batu – batuan yang ada di pinggur bendungan dan semua tampak
gelap.
Beberapa
saat kemudian, aku terbangun. Badanku sakit semua, dan saat aku mencoba membuka
mata, semua tampak menyilaukan. “Apa aku sudah mati?”, tanyaku.
“Kamu
ini ngomong apa sih? Katanya Bli, ibu dan bapak tidak boleh melakukan hal yang
bodoh. Kenapa kamu malah yang bertindak bodoh seperti ini?”, sahut Bli Darma.
“Ibu
sama bapak dimana Bli? Mereka jadi bercerai?”, tanyaku cemas.
“Berkat
kamu yang hampir mati, ibu sama bapak tidak jadi bercerai. Bapak sudah
memutuskan hubungannya dengan selingkuhannya.”jawab Bli Darma dengan wajah
sumringah.
Aku
senang mendengar hal ini. Mulai hari ini aku akan hidup seperti gadis normal
sebayaku. Walau dengan tangan dan kaki yang patah karena tindakan bodohku, aku
senang aku bisa menyatukan kembali keluargaku,karena tak ada yang lebih indah
selain ada dalam keluarga yang penuh perhatian, cinta dan kasih sayang.
Keluarga itu adalah rumahku, bagaimanapun kondisiku, hanya keluarga lah yang
mau menerimaku apa adanya. Keluarga lah yang menjadi awal dan tempat terakhirku
berdiri nantinya, karna tanpa keluarga aku bukan apa – apa.
Kini
aku mengerti kenapa ada istilah “Made in Bali” menurutku ini cukup sederhana,
sesederhana pemikiran anak desa, ku pahami bahwa bukanlah “made” dalam bahasa
inggris yang dimaksud orang selama ini , melainkan “made” dalam bahasa Bali
yang berarti bahwa ada made di Bali, yang selalu membuat Bali nampak begitu
indah dan selalu menarik perhatian, seperti namaku, made yang mencoba
mengindahkan kembali keluargaku.
0 comments:
Post a Comment