Wednesday, August 22, 2012

Made in Bali


Bali, sebuah pulau yang cukup memiliki daya tarik tersendiri di kalangan turis asing maupun lokal. Berbagai kultur budaya bisa kita temui disini.  Hidup bermasyarakat di sini membuatku merasa nyaman. Ya, hidup di pesisir pantai dengan tanah berbatu yang tandus, begitulah kondisi alam desaku, namanya Selabih. Sebuah desa terpencil dengan kehidupan masyarakat yang beranekaragam agama yang hidup berdampingan dengan damai di tengah pergeseran budaya yang kian hari kian menepi.

Disini awal kisahku, hidup sebagai seorang gadis lugu sederhana yang harus bersekolah dengan penuh perjuangan, bagaimana tidak, tiap hari aku harus bangun jam 5 pagi dan berjalan sejauh 2 km untuk mencari angkutan umum yang akan membawaku ke sekolah yang letaknya 6 km dari desaku. Sama seperti hari biasanya, kini aku bergegas ke sekolah yang sangat aku bangga – banggakan ini.
“Dek Rai, kamu sudah selesai bikin pr matematika belum ? ” ,tanya Putu Yogi dengan logat Tabanannya yang khas.  
“Aduh, aku lupa puk. Pr nya yang mana Gi? Di LKS ? Halaman berapa?”,tanyaku dengan panik karena aku lupa kalau ada pr matematika.
“Itu loh yang halaman 45 itu, ayo kita bikin prnya bareng bareng Dek”, ajaknya sambil tersenyum padaku penuh semangat.
Untungnya kelas masih sepi karena ini baru jam 6 pagi. Kami pun mengerjakan pr dengan tergesa – gesa sebelum teman – teman yang lain datang ke sekolah.
Bel tanda pelajaran dimulai pun berdering sangat nyaring, layaknya sirine yang ingin membangunkan beruang kutub yang sedang hibernasi.
“Selamat pagi anak – anak. Kali ini ibu akan mengecek kehadiran kalian sambil memeriksa pr kalian.” Kata bu guru yang mulai memanggil nama – nama temanku.
“Ni made rai antari”, kata bu guru lagi.
“Hadir bu.” jawabku sambil menyerahkan pr yang baru satu jam yang lalu aku kerjakan.
Untung pr yang tadi aku kerjakan bersama Putu Yogi benar semua, alhasil kami mendapatkan nilai 100 kali ini, sungguh beruntung.
Bel tanda pulang pun kembali berdering, aku langsung bergegas pulang bersama teman – temanku. Saat aku menunggu mini bus yang akan ku tumpangi, aku duduk di depan sekolah dan tak sengaja ku lihat seorang pria, mirip bapakku tengah membonceng seorang wanita,tapi bukan ibuku. “Mungkin itu orang lain, bukan bapak” kataku dalam hati.
Akhirnya mini bus yang ku tunggu datang juga, dengan perjalanan 15 menit dari Suraberata menuju Selabih, aku tiba di jalan besar di desaku. “Tinggal 30 menit lagi” kataku dalam hati. 30 menit adalah waktu yang ku perlukan untuk berjalan kaki menuju rumahku. Jalanan beraspal sejauh 1,3 km dan jalan setapak kecil sejauh 700 meter adalah menu utama keseharianku ketika berangkat ke sekolah. Jalan ini lah yang selalu memacuku untuk terus semangat belajar menuntut ilmu setinggi – tingginya di tengah carut – marut ekonomi yang tengah melanda keluargaku.
“Dek Rai, yuk sini Pak Man antar pulang”, ajak seorang paman yang baik hati itu. Beliau adalah sepupu dari bapakku. 
“Ngga usah Pak Man Parta, aku mau jalan kaki saja. Pak Man duluan dah”, jawabku.
Kemudian, Pak Man Parta berlalu dan aku pun melanjutkan perjalananku.
Terik matahari ditambah lokasi desaku yang di pinggir laut membuat hari ini begitu panas dan melelahkan namun, hal itu tak melunturkan semangatku untuk berjalan menuju rumah.
Setibanya di rumah, ku dengar ada pertengkaran yang terjadi, entah itu dari rumah siapa. Ku lihat perabotan dapur berserakan di halaman rumah, aku panik dan penasaran, siapa yang bertengkar ini. Semua pertanyaanku kini terjawab oleh jeritan dari wanita paruh baya, ibuku. Langsung aku bergegas menuju kamarku yang berada disamping kamar orang tuaku. Aku terkejut, ku dengar bahwa ibu ingin bercerai dengan bapak karena bapak kembali dengan hobi lamanya yaitu bermain perempuan yang membuatku teringat dengan perempuan yang tadi aku lihat di depan sekolah. Tak sadar ku teteskan air mata ini hingga membasahi sebagian wajahku yang berdebu. Ketika ku mencoba keluar dari kamarku, dengan sigap ada tangan yang menarikku tak membiarkanku keluar dari kamarku. Ternyata dari tadi sudah ada Bli Darma. Dia bilang semua akan baik – baik saja. Dia menyuruhku untuk tidak ikut campur dan diam saja di kamar. Kali ini aku menurut pada Bli Darma, tak pernah ku lihat raut wajah yang sekacau itu dari wajahnya. Sepertinya dia jauh lebih merasa tertekan di banding aku.
Beberapa menit kemudian, bapak pergi meninggalkan rumah, semuanya hening, Tak lagi terdengar gemuruh pertikaian yang terjadi. Sesekali terdengar rintihan tangisan kecil dari ibu, kali ini Bli Darma sudah tak sanggup menahan dirinya. Ia langsung datang menemui ibuku, entah apa yang ia bicarakan, dan tiba – tiba ku lihat Bli Darma dengan mengantar ibu pergi dengan tas yang penuh berisi pakaian, ku coba berlari mengejar mereka, namun mereka tak menghiraukanku. Aku sungguh tak sanggup menghadapi ini semua.“Kenapa bocah kelas 2 smp seperti aku mengalami hal ini?”, tanyaku dalam hati.
Setelah sekian lama aku berdiri melamun menatap jalan setapak yang ada di hadap ku, datang nenek yang menghampiriku. Beliau memelukku dan mengatakan semua akan baik – baik saja. Aku tidak menggubrisnya.
Seharian ini aku berada di kamar mengurung diri, tanpa makan dan minum. Awalnya kupikir ini berhasil, namun hingga larut malam Bli Darma ataupun bapak tak kunjung datang. Ku putuskan untuk tidak makan sampai ibu datang lagi ke rumah, nenek yang mulai cmas dengan kondisiku kemudian menyuruh Pak Man Parta untuk mencari bapak,ibu dan Bli Darma. Ku tunggu hingga senja, mereka tak kunjung datang, aku mulai cemas.
Akhirnya bapak, ibu dan Bli Darma datang menemui ku, mereka membujukku untuk makan. Aku langsung senang, akhirnya keluargaku berkumpul lagi. Ku ceritakan niatku pada kedua orang tuaku dan Bli Darma, mereka hanya terdiam sambil menatapku melahap semua makanan yang ada di depanku. Ketika aku bergegas untuk tidur, ibu menemuiku, ia berkata,” Semua akan baik – baik saja dek, kamu belajar yang rajin. “
Aku hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum seraya memejamkan mata. Ku harap esok bisa jauh lebih indah dari malam ini.
Hari – hari berlalu tak sesuai dengan harapku.
Hari dimana bapak mulai tak acuh, ibu yang mulai depresi dan Bli Darma yang menghilang entah kenapa. Batinku pilu melihat kenyataan ini.
Handphone ku berdering,tanda ada yang mengirimiku pesan singkat,pesan itu dari Bli Wayan Palguna, kakak sepupuku dan orang terdekat Bli Darma. Bli Wayan Palguna mengatakan bahwa sudah 2 hari ini Bli Darma mabuk – mabukan di cafe yang tak jauh dari desaku. Aku panik. Tak pernah ku lihat Bli Darma mabuk seperti ini. Dia bukan orang yang kuat minum, hanya dengan 1 gelas bir saja ia sudah teler. “Tapi kenapa ia kini minum begitu banyak? Apakah ini karna ia depresi dengan masalah yang dialami keluargaku?” tanyaku dalam hati.
Langsung aku meminta Bli Wayan Palguna untuk segera membawa Bli Darma pulang ke rumah.
Dulu, ketika bapak ketahuan berselingkuh, Bli Darma mengamuk. Badannya yang cukup tinggi dan kekar dimanfaatkannya untuk menghancurkan dengan kuat semua benda pemberian bapak. Bli Darma berhenti mengamuk karena bapak berjanji tidak akan main perempuan lagi.
Masih ku ingat dulu, saat ekonomi keluarga kami sangat pas – pasan, bapak selalu menangis ketika mengantar kami ke sekolah. Ia tak sanggup memberi kami uang saku untuk naik mini bus ke sekolah. Ia kemudian meminjam motor milik Pak Man Parta agar kami berdua bisa berangkat ke sekolah. Aku sangat rindu saat itu. Walaupun ekonomi kami sangat memprihatinkan, aku merasa ada perhatian dan kasih sayang orang tua disana, tidak seperti sekarng disaat kondisi ekonomi keluargaku membaik, tak ada cinta dan kasih sayang yang bisa ku rasakan.Yang ada hanya kepalsuan dan pertikaian yang mengisi hari – hari ku.
Kadang ku berpikir bahwa ,” Apakah tak bisa keluargaku hidup mapan tanpa harus ada pertikaian?  Apa keluargaku harus menderita lagi baru bapak sadar akan kesalahannya? Tidakkah bisa keluargaku kembali seperti keluarga normal yang lain yang penuh cinta? Apakah pernikahan itu hanya manis di awal seperti pernikahan Pak Man Parta yang baru seumur jagung? Kenapa keluarga Pak Wayan Suta yang hanya bisa bertemu istrinya tiap hari libur bisa harmonis sedangkan bapak dan ibuku yang bertemu setiap hari tidak harmonis? Kenapa?” keluhku dalam hati.
Hari – hariku di sekolah kini nampak tak berarti, tak ada semangat yang dulu pernah membara dalam setiap aliran darahku. Kini, hanya tertinggal kecamuk duka dalam setiap rintihan langkahku.
Hari ini, ibu kembali ingin pergi. Kini ia bersungguh – sungguh katanya. Aku tak kuasa menahan tangisanku. Aku minta agar ibu tetap ada disini menemaniku, namun ibu hanya menangis. Ia mengatakan bahwa aku harus tetap disini, tetap bersekolah dan menemani Bli Darma yang kini masih tertidur pulas akibat mabuk kemarin.
Aku menangis sekencang – kencangnya, ku raih tangan ibu yang bergegas meninggalkanku denga air mata yang terus – terusan menetes.
Ingin ku halangi langkahnya namun nenek memegang tanganku erat, ia tak membiarkanku pergi menyusul ibu.
Kini senja mulai tiba.
Ku putuskan untuk mengakhiri semuanya, tak ada alasan lagi kenapa aku harus semangat belajar. Tak ada lagi tujuan hidup dalam setiap langkahku.
Ku tulis sepucuk surat.
Untuk Bli Darma, ibu dan bapak yang teramat ku cintai. Aku sangat sayang pada kalian. Bisa kah kita seperti dulu?
Untuk Ibu dan Bapak, apa kalian masih ingat, dulu cinta yang menyatukan kalian, sekarang cinta juga yang memisahkan kalian. Pernahkah kalian berpikir bagaimana perasaan kami sebagai anak kalian?Apa kalian berpikir hanya kalian yang sakit? Apa kalian berpikir kami tidak terbebani dengan apa yang telah kalian lakukan? Apa kalian berpikir kami ini boneka hasil pernikahan kalian yang tak memiliki perasaan? Kalau kalian berpikir ya, kalian salah. Kami jauh merasa tersiksa daripada kalian. Kami sunggu malu. Ketika kami lihat teman – teman kami berkumpul dengan orang tuanya, kami sangat iri. Pernahkah terpikir di benak kalian bahwa kami merasakan ini? Pernahkah?
Untuk Bli Darma, apa bli pikir bli hebat? Kenapa bli minum – minum lagi? Apa bli berpikir hanya bli yang sangat tertekan? Bli salah. Aku juga tertekan, bahkan mungkin lebih tertekan. Aku yang kini sedang mencari sosok untuk diteladani hanya bisa melihat orang tuaku bertengkar dan hampir bercerai, ketika aku perlu sandaran, apa bli ada? Kenapa bli ikutan merusak diri bli sendiri? Lalu aku harus menyandar pada bahu siapa bli?
Untuk kalian semua, keluargaku yang sangat aku cintai.
Aku sudah lelah, lelah sekali. Aku bosan hanya berhadapan dengan masalah ini. Aku ingin tenang. Aku ingin menyusul kakek yang telah lama menungguku disana. Ijinkan aku pamit.
Berjanjilah padaku untuk tidak melakukan hal – hal bodoh seperti ini lagi. Aku sangat menyayangi kalian.

                                                                                                -Ni Made Rai Antari-
Ku letakkan surat itu di atas meja belajar dan bergegas menuju bendungan besar yang ada di desaku. Ku lihat sekeliling, tak ada siapapun disana. Aku mulai berdiri di atas besi pembatas  besi. Ketika aku ingin melompat dari sana, ada seorang lelaki muda yang memanggilku. Lekaki tinggi dan bertubuh kekar, ternyata dia adalah Bli Darma. Tanpa menghiraukan Bli Darma, aku langsung melompat dari pembatas besi yang tingginya kurang lebih 2meter itu. Tubuhku  menghantam batu – batuan yang ada di pinggur bendungan dan semua tampak gelap.
Beberapa saat kemudian, aku terbangun. Badanku sakit semua, dan saat aku mencoba membuka mata, semua tampak menyilaukan. “Apa aku sudah mati?”, tanyaku.
“Kamu ini ngomong apa sih? Katanya Bli, ibu dan bapak tidak boleh melakukan hal yang bodoh. Kenapa kamu malah yang bertindak bodoh seperti ini?”, sahut Bli Darma.
“Ibu sama bapak dimana Bli? Mereka jadi bercerai?”, tanyaku cemas.
“Berkat kamu yang hampir mati, ibu sama bapak tidak jadi bercerai. Bapak sudah memutuskan hubungannya dengan selingkuhannya.”jawab Bli Darma dengan wajah sumringah.
Aku senang mendengar hal ini. Mulai hari ini aku akan hidup seperti gadis normal sebayaku. Walau dengan tangan dan kaki yang patah karena tindakan bodohku, aku senang aku bisa menyatukan kembali keluargaku,karena tak ada yang lebih indah selain ada dalam keluarga yang penuh perhatian, cinta dan kasih sayang. Keluarga itu adalah rumahku, bagaimanapun kondisiku, hanya keluarga lah yang mau menerimaku apa adanya. Keluarga lah yang menjadi awal dan tempat terakhirku berdiri nantinya, karna tanpa keluarga aku bukan apa – apa.
Kini aku mengerti kenapa ada istilah “Made in Bali” menurutku ini cukup sederhana, sesederhana pemikiran anak desa, ku pahami bahwa bukanlah “made” dalam bahasa inggris yang dimaksud orang selama ini , melainkan “made” dalam bahasa Bali yang berarti bahwa ada made di Bali, yang selalu membuat Bali nampak begitu indah dan selalu menarik perhatian, seperti namaku, made yang mencoba mengindahkan kembali keluargaku.


0 comments: